Masih Zaman Hidup Murni?
Pergaulan bebas sangat dekat dengan kehidupan anak muda zaman ini. Apalagi ketertarikan dengan lawan jenis bahkan sudah dialami oleh anak usia dini. Tidak adanya batasan dalam berpacaran membuat pergaulan dan seks bebas bukan lagi hal yang tabuh. Seorang gadis menginap di kamar kos sang kekasih dan tingginya angka hubungan seks di luar pernikahan adalah beberapa contoh menjaga kemurnian diri dan jiwa bukan lagi hal yang mutlak. Laki-laki sering 'meminta jatah' kepada pacarnya dengan alasan luapan cinta. Perempuan sering memberikan keperawanannya (kemurnian) karena takut diputus dan sudah terlanjur sayang. Meskipun tidak seharusnya demikian, tapi 'atas nama cinta', segalanya akan dilakukan, termasuk hidup dalam ketidakmurnian.
"Masih pentingkah keperjakaan dan keperawanan?" atau "yang penting kan sama-sama enak?" Keprihatinan Gereja akan situasi yang terjadi mendorong Gereja membimbing para orang muda supaya memiliki hubungan pacaran yang sehat dan mengutamakan kemurnian (untuk pandangan Gereja tentang pacaran, bisa klik di sini). Gereja juga memberikan edukasi tentang kemurnian yang harus dijaga karena menjaga kemurnian adalah panggilan semua orang. Apa itu kemurnian? Bagaimana bentuknya? Dan apa pentingnya hidup murni? Temukan jawabannya dan jaga kemurnianmu :)
Apa itu Kemurnian?
Secara tegas, Gereja mendefinisikan kemurnian sebagai berikut:
1. Keutuhan seksualitas secara jasmani dan rohani
Dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK 2337) , "Kemurnian berarti keutuhan seksualitas yang membahagiakan di dalam pribadi dan selanjutnya kesatuan batin manusia dalam keberadaannya secara jasmani dan rohani." Seks adalah hubungan yang membutuhkan timbal balik sempurna (antara laki-laki dan perempuan) dan tidak terbatas oleh waktu. ngan demikian kebajikan kemurnian melibatkan keutuhan pribadi (jasmani) dan kesempurnaan penyerahan diri (rohani) yang seimbang.
Adanya unsur rohani dalam seksualitas menjadi highlight penting bagi kita. Selama ini mungkin unsur seks yang dominan adalah nafsu jasmani manusia, padahal unsur jasmani harus seimbang dengan unsur rohaninya. Maka ketika kita memandang seks hanyalah pemenuhan nafsu jasmani tubuh atau kita 'terlalu rohani' sehingga memandang seks sebagai dosa adalah pandangan yang keliru.
2. Pengendalian diri
KGK 2346 mengatakan, "Kasih adalah bentuk semua kebajikan. Di bawah pengaruhnya, kemurnian tampak sebagai latihan penyerahan diri. Pengendalian diri diarahkan kepada penyerahan diri. Kemurnian menjadikan orang yang hidup sesuai dengannya, seorang saksi bagi sesamanya tentang kesetiaan dan kasih Allah yang lemah lembut.
Seseorang yang murni adalah mereka yang dapat mengendalikan dirinya, pada saat menyerahkan dirinya pada orang lain. Dengan pengendalian diri, kita menjadi saksi kelemahlembutan dan kesetiaan Allah bagi pasangan kita.
3. Peneguhan dan pemberian diri
Santo Yohanes Paulus II mengajarkan, “Para pria dan wanita yang ber-relasi satu sama lain dengan kemurnian sungguh memuliakan Allah dengan tubuh mereka.” (Pope John Paul II, Theology of the Body 57:3). Mari kita berefleksi bersama sejauh mana kita memberikan diri kita dalam menjalin suatu relasi, apakah fokus kita adalah menyenangkan diri sendiri atau menyenangkan orang lain? Apakah kita membantu pasangan kita untuk hidup kudus/murni atau malah menjerumuskannya?
Apa Pentingnya?
“Manusia dapat sepenuhnya menemukan jati dirinya, hanya di dalam pemberian dirinya yang tulus.” (Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, 24). Jika kita selalu berpusat pada diri sendiri dan tak pernah memberikan diri kepada orang lain, kita tidak akan hidup bahagia. Berdasarkan hal inilah Gereja mengajarkan kemurnian hidup kepada semua umatnya, terkhusus orang muda.
Paus Yohanes Paulus II mengajarkan agar kita dapat memahami makna kemurnian. Dalam khotbahnya, Theology of the Body, Paus mengajarkan ada tiga pengalaman dasar yang dapat membantu kita membayangkan kisah penciptaan manusia sebagai dasar memahami kemurnian:
1. Kesendirian asali (Original solitude)
Kesendirian Adam sebagai ciptaan pertama di tengah Taman Eden menunjukkan kesadaran manusia untuk bersekutu dengan Tuhan Sang Pencipta dan dengan mahluk lain yang ‘sejenis’ dengannya (Kej 2:23).
2. Kesatuan asali (Original unity)
Karena kesatuan manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 2:24), maka kita harus menyadari bahwa seksualitas manusia lebih tinggi martabatnya dibandingkan dengan persetubuhan hewan-hewan di dunia ini. Kesadaran akan kesatuan asali ini memberikan dasar bagi seseorang untuk memberikan dirinya kepada orang lain dan menghargai orang lain, sebagai “saudara laki- laki dan saudara perempuan di dalam kesatuan umat manusia” (Pope John Paul II, Theology of the Body 18:5).
3. Ketelanjangan asali (Original nakedness)
Ketelanjangan asali merupakan pengalaman telanjang tanpa rasa malu (Kej 2:25), maksudnya kita harus menyadari makna tubuh kita seperti pada saat diciptakan, sebagai pernyataan keseluruhan pribadi kita sebagai manusia. Jika kita memahami makna ketelanjangan asali ini, kita akan melihat bagaimana rahmat Allah disampaikan kepada manusia. Dengan menyadari kasih yang Tuhan sampaikan melalui tubuh kita, maka kita dapat menggunakan tubuh ini untuk mengasihi dan melayani sesama.
Dalam konteks perkawinan, penghayatan kesatuan asali dan ketelanjangan asali diwujudkan dalam hubungan seksual suami istri dengan makna: “Aku memberikan diriku sepenuhnya kepadamu, segalanya, tanpa ada yang kusimpan sendiri. Setulusnya. Tanpa paksaan. Selamanya. Dan aku menerima pemberian dirimu yang engkau berikan kepadaku. Aku memberkati engkau. Aku mendukung/meneguhkan engkau. Segala yang ada padamu, tanpa syarat. Selamanya.” (Christopher West, Theology of the Body Explained (Boston: Pauline Books and Media, 2007), p.137). Bukankah pernyataan ini serupa pula dengan yang dinyatakan oleh Kristus di kayu salib? Pemberian diri yang totalitas.
Tujuan Kemurnian
Manusia membutuhkan penguasaan diri, sehingga dapat menghindari kecenderungan dosa dan menjaga kemurnian diri. Katekismus Gereja Katolik menjelaskan dengan sangat baik kebajikan penguasaan diri: "Penguasaan diri adalah kebajikan moral yang mengekang kecenderungan kepada berbagai macam kenikmatan dan yang membuat kita mempergunakan benda-benda duniawi dengan ukuran yang tepat. Ia menjamin penguasaan kehendak atas kecenderungan dan tidak membiarkan kecenderungan melampaui batas-batas yang patut dihormati. Manusia yang menguasai diri mengarahkan kehendak inderawi-nya kepada yang baik, mempertahankan kemampuan sehat untuk menilai, dan berpegang pada kata-kata: “Jangan mengikuti setiap kecenderungan walaupun engkau mampu, dan jangan engkau mengikuti hawa nafsumu” (Sir 5:2, Bdk. Sir 37:27-31) Kebajikan penguasaan diri sering dipuji dalam Perjanjian Lama: “Jangan dikuasai oleh keinginan-keinginanmu, tetapi kuasailah segala nafsumu” (Sir 18:30). Dalam Perjanjian Baru ia dinamakan “kebijaksanaan” atau “ketenangan”. Kita harus hidup “bijaksana, adil, dan beribadah di dalam dunia sekarang ini” (Tit 2:12). (KGK 1809).
Waspadalah! Berikut ini pelanggaran-pelanggaran terhadap kemurnian yang ada di sekitar kita. Ketahui, kenali, dan jangan lakukan!
NAFSU/KETIDAKMURNIAN SEKSUAL
Pengertian nafsu menurut Gereja tertulis pada KGK 2351, "Nafsu adalah hasrat yang menyimpang akan, ataupun kenikmatan yang tidak teratur akan kesenangan seksual. Keinginan seksual itu tidak teratur secara moral, apabila ia dikejar karena dirinya sendiri dan dengan demikian dilepaskan dari tujuan batinnya untuk melanjutkan kehidupan (procreative) dan untuk hubungan cinta kasih (unitive)".
MASTURBASI
KGK 2357 mengatakan, "Homoseksualitas adalah hubungan antara para pria atau wanita, yang merasa diri tertarik dalam hubungan seksual, semata-mata atau terutama, kepada orang sejenis kelamin. Berdasarkan Kitab Suci yang melukiskannya sebagai penyelewengan besar (Kej 19:1-29; Rm 1:24-27; 1 Kor 6:10; 1 Tim 1:10) tradisi Gereja selalu menjelaskan, bahwa “perbuatan homoseksual itu sangat menyimpang” (CDF, Perny. “Persona humana” 8). Perbuatan itu melawan hukum kodrat, karena kelanjutan kehidupan tidak mungkin terjadi waktu persetubuhan. Perbuatan itu tidak berasal dari satu kebutuhan benar untuk saling melengkapi secara afektif dan seksual. Bagaimanapun perbuatan itu tidak dapat dibenarkan.
PERCABULAN
Kenali diri sendiri, mohon rahmat Tuhan, dan latih pengendalian diri. tidak ada kata 'mustahil' untuk berubah. Yakinlah ketika kita mengusahakan hidup murni, Tuhan akan menemani dan membantu kita dalam setiap langkah perjuangan kita. Dominus Vobiscum :)
Sumber: katolisitas.org
"Masih pentingkah keperjakaan dan keperawanan?" atau "yang penting kan sama-sama enak?" Keprihatinan Gereja akan situasi yang terjadi mendorong Gereja membimbing para orang muda supaya memiliki hubungan pacaran yang sehat dan mengutamakan kemurnian (untuk pandangan Gereja tentang pacaran, bisa klik di sini). Gereja juga memberikan edukasi tentang kemurnian yang harus dijaga karena menjaga kemurnian adalah panggilan semua orang. Apa itu kemurnian? Bagaimana bentuknya? Dan apa pentingnya hidup murni? Temukan jawabannya dan jaga kemurnianmu :)
Apa itu Kemurnian?
Secara tegas, Gereja mendefinisikan kemurnian sebagai berikut:
1. Keutuhan seksualitas secara jasmani dan rohani
Dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK 2337) , "Kemurnian berarti keutuhan seksualitas yang membahagiakan di dalam pribadi dan selanjutnya kesatuan batin manusia dalam keberadaannya secara jasmani dan rohani." Seks adalah hubungan yang membutuhkan timbal balik sempurna (antara laki-laki dan perempuan) dan tidak terbatas oleh waktu. ngan demikian kebajikan kemurnian melibatkan keutuhan pribadi (jasmani) dan kesempurnaan penyerahan diri (rohani) yang seimbang.
Adanya unsur rohani dalam seksualitas menjadi highlight penting bagi kita. Selama ini mungkin unsur seks yang dominan adalah nafsu jasmani manusia, padahal unsur jasmani harus seimbang dengan unsur rohaninya. Maka ketika kita memandang seks hanyalah pemenuhan nafsu jasmani tubuh atau kita 'terlalu rohani' sehingga memandang seks sebagai dosa adalah pandangan yang keliru.
2. Pengendalian diri
KGK 2346 mengatakan, "Kasih adalah bentuk semua kebajikan. Di bawah pengaruhnya, kemurnian tampak sebagai latihan penyerahan diri. Pengendalian diri diarahkan kepada penyerahan diri. Kemurnian menjadikan orang yang hidup sesuai dengannya, seorang saksi bagi sesamanya tentang kesetiaan dan kasih Allah yang lemah lembut.
Seseorang yang murni adalah mereka yang dapat mengendalikan dirinya, pada saat menyerahkan dirinya pada orang lain. Dengan pengendalian diri, kita menjadi saksi kelemahlembutan dan kesetiaan Allah bagi pasangan kita.
3. Peneguhan dan pemberian diri
Santo Yohanes Paulus II mengajarkan, “Para pria dan wanita yang ber-relasi satu sama lain dengan kemurnian sungguh memuliakan Allah dengan tubuh mereka.” (Pope John Paul II, Theology of the Body 57:3). Mari kita berefleksi bersama sejauh mana kita memberikan diri kita dalam menjalin suatu relasi, apakah fokus kita adalah menyenangkan diri sendiri atau menyenangkan orang lain? Apakah kita membantu pasangan kita untuk hidup kudus/murni atau malah menjerumuskannya?
Apa Pentingnya?
“Manusia dapat sepenuhnya menemukan jati dirinya, hanya di dalam pemberian dirinya yang tulus.” (Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, 24). Jika kita selalu berpusat pada diri sendiri dan tak pernah memberikan diri kepada orang lain, kita tidak akan hidup bahagia. Berdasarkan hal inilah Gereja mengajarkan kemurnian hidup kepada semua umatnya, terkhusus orang muda.
Paus Yohanes Paulus II mengajarkan agar kita dapat memahami makna kemurnian. Dalam khotbahnya, Theology of the Body, Paus mengajarkan ada tiga pengalaman dasar yang dapat membantu kita membayangkan kisah penciptaan manusia sebagai dasar memahami kemurnian:
1. Kesendirian asali (Original solitude)
Kesendirian Adam sebagai ciptaan pertama di tengah Taman Eden menunjukkan kesadaran manusia untuk bersekutu dengan Tuhan Sang Pencipta dan dengan mahluk lain yang ‘sejenis’ dengannya (Kej 2:23).
2. Kesatuan asali (Original unity)
Karena kesatuan manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 2:24), maka kita harus menyadari bahwa seksualitas manusia lebih tinggi martabatnya dibandingkan dengan persetubuhan hewan-hewan di dunia ini. Kesadaran akan kesatuan asali ini memberikan dasar bagi seseorang untuk memberikan dirinya kepada orang lain dan menghargai orang lain, sebagai “saudara laki- laki dan saudara perempuan di dalam kesatuan umat manusia” (Pope John Paul II, Theology of the Body 18:5).
3. Ketelanjangan asali (Original nakedness)
Ketelanjangan asali merupakan pengalaman telanjang tanpa rasa malu (Kej 2:25), maksudnya kita harus menyadari makna tubuh kita seperti pada saat diciptakan, sebagai pernyataan keseluruhan pribadi kita sebagai manusia. Jika kita memahami makna ketelanjangan asali ini, kita akan melihat bagaimana rahmat Allah disampaikan kepada manusia. Dengan menyadari kasih yang Tuhan sampaikan melalui tubuh kita, maka kita dapat menggunakan tubuh ini untuk mengasihi dan melayani sesama.
Dalam konteks perkawinan, penghayatan kesatuan asali dan ketelanjangan asali diwujudkan dalam hubungan seksual suami istri dengan makna: “Aku memberikan diriku sepenuhnya kepadamu, segalanya, tanpa ada yang kusimpan sendiri. Setulusnya. Tanpa paksaan. Selamanya. Dan aku menerima pemberian dirimu yang engkau berikan kepadaku. Aku memberkati engkau. Aku mendukung/meneguhkan engkau. Segala yang ada padamu, tanpa syarat. Selamanya.” (Christopher West, Theology of the Body Explained (Boston: Pauline Books and Media, 2007), p.137). Bukankah pernyataan ini serupa pula dengan yang dinyatakan oleh Kristus di kayu salib? Pemberian diri yang totalitas.
Tujuan Kemurnian
Tidak ada tujuan lain selain membawa manusia kepada keselamatan kekal. Hubungan kasih suami istri menggambarkan kesatuan Allah Tritunggal. Persatuan ini terjadi ketika pasangan tersebut telah dipersatukan oleh Kristus, karena hanya di dalam Kristuslah manusia menemukan makna luhur perkawinan. Tentu saja persekutuan 'ketiga Pribadi Allah' bukan karena ada perkawinan di dalam Pribadi Allah, namun kesatuan mereka merupakan sesuatu yang seharusnya digambarkan dalam setiap perkawinan Kristiani.
Dosa, Musuh yang UtamaManusia membutuhkan penguasaan diri, sehingga dapat menghindari kecenderungan dosa dan menjaga kemurnian diri. Katekismus Gereja Katolik menjelaskan dengan sangat baik kebajikan penguasaan diri: "Penguasaan diri adalah kebajikan moral yang mengekang kecenderungan kepada berbagai macam kenikmatan dan yang membuat kita mempergunakan benda-benda duniawi dengan ukuran yang tepat. Ia menjamin penguasaan kehendak atas kecenderungan dan tidak membiarkan kecenderungan melampaui batas-batas yang patut dihormati. Manusia yang menguasai diri mengarahkan kehendak inderawi-nya kepada yang baik, mempertahankan kemampuan sehat untuk menilai, dan berpegang pada kata-kata: “Jangan mengikuti setiap kecenderungan walaupun engkau mampu, dan jangan engkau mengikuti hawa nafsumu” (Sir 5:2, Bdk. Sir 37:27-31) Kebajikan penguasaan diri sering dipuji dalam Perjanjian Lama: “Jangan dikuasai oleh keinginan-keinginanmu, tetapi kuasailah segala nafsumu” (Sir 18:30). Dalam Perjanjian Baru ia dinamakan “kebijaksanaan” atau “ketenangan”. Kita harus hidup “bijaksana, adil, dan beribadah di dalam dunia sekarang ini” (Tit 2:12). (KGK 1809).
Waspadalah! Berikut ini pelanggaran-pelanggaran terhadap kemurnian yang ada di sekitar kita. Ketahui, kenali, dan jangan lakukan!
NAFSU/KETIDAKMURNIAN SEKSUAL
Pengertian nafsu menurut Gereja tertulis pada KGK 2351, "Nafsu adalah hasrat yang menyimpang akan, ataupun kenikmatan yang tidak teratur akan kesenangan seksual. Keinginan seksual itu tidak teratur secara moral, apabila ia dikejar karena dirinya sendiri dan dengan demikian dilepaskan dari tujuan batinnya untuk melanjutkan kehidupan (procreative) dan untuk hubungan cinta kasih (unitive)".
MASTURBASI
Siapa yang tidak tahu dengan masturbasi/onani? KGK 2352 mengatakan: Masturbasi adalah rangsangan alat-alat kelamin yang disengaja dengan tujuan membangkitkan kenikmatan seksual. “Baik Wewenang Mengajar Gereja dalam tradisinya yang tidak berubah maupun perasaan susila umat beriman telah tidak pernah meragukan, untuk mencap masturbasi sebagai satu tindakan yang sangat menyimpang”. “Penggunaan kemampuan seksual dengan sengaja, dengan alasan apa pun, yang dilakukan di luar hubungan suami isteri yang normal, bertentangan dengan hakikat tujuannya”. Sebab di sini, kenikmatan seksual dicari di luar “hubungan seksual yang diatur oleh hukum moral/kesusilaan dan yang di dalamnya dicapai arti sepenuhnya dari penyerahan diri secara timbal balik dan juga suatu pembuahan manusiawi di dalam cinta yang sejati” (CDF, Perny. Persona humana 9).
Kita tidak bisa menyatukan pandangan Gereja dengan pandangan psikologis yang menyetujui masturbasi sebagai suatu cara ‘penyaluran’ dorongan seksual. Bagi Gereja, masturbasi adalah tindakan yang didasari motif mengagungkan kenikmatan seksual di atas segalanya. Maka perlu mencari penyaluran dorongan seksual yang lain, yang lebih berguna membangun tubuh dan jiwa daripada masturbasi.
PERKOSAAN
KGK 2356 mengatakan, "Perkosaan adalah satu pelanggaran dengan kekerasan dalam keintiman seksual seorang manusia. Ia adalah pelanggaran terhadap keadilan dan cinta kasih. Perkosaan adalah pelanggaran hak yang dimiliki setiap manusia atas penghormatan, kebebasan, keutuhan fisik, dan jiwa. Ia menyebabkan kerusakan besar, yang dapat membebani korban seumur hidup. Ia selalu merupakan suatu perbuatan yang pada dasarnya/dengan sendirinya jahat. Lebih buruk lagi, apabila orang-tua atau para pendidik memperkosa anak-anak yang dipercayakan kepada mereka."
HOMOSEKSUAL
PERKOSAAN
KGK 2356 mengatakan, "Perkosaan adalah satu pelanggaran dengan kekerasan dalam keintiman seksual seorang manusia. Ia adalah pelanggaran terhadap keadilan dan cinta kasih. Perkosaan adalah pelanggaran hak yang dimiliki setiap manusia atas penghormatan, kebebasan, keutuhan fisik, dan jiwa. Ia menyebabkan kerusakan besar, yang dapat membebani korban seumur hidup. Ia selalu merupakan suatu perbuatan yang pada dasarnya/dengan sendirinya jahat. Lebih buruk lagi, apabila orang-tua atau para pendidik memperkosa anak-anak yang dipercayakan kepada mereka."
HOMOSEKSUAL
KGK 2357 mengatakan, "Homoseksualitas adalah hubungan antara para pria atau wanita, yang merasa diri tertarik dalam hubungan seksual, semata-mata atau terutama, kepada orang sejenis kelamin. Berdasarkan Kitab Suci yang melukiskannya sebagai penyelewengan besar (Kej 19:1-29; Rm 1:24-27; 1 Kor 6:10; 1 Tim 1:10) tradisi Gereja selalu menjelaskan, bahwa “perbuatan homoseksual itu sangat menyimpang” (CDF, Perny. “Persona humana” 8). Perbuatan itu melawan hukum kodrat, karena kelanjutan kehidupan tidak mungkin terjadi waktu persetubuhan. Perbuatan itu tidak berasal dari satu kebutuhan benar untuk saling melengkapi secara afektif dan seksual. Bagaimanapun perbuatan itu tidak dapat dibenarkan.
PERCABULAN
KGK 2353 menjelaskan, "Percabulan adalah hubungan badan antara seorang pria dan seorang wanita yang tidak menikah satu dengan yang lain. Ini adalah satu pelanggaran besar terhadap martabat orang-orang ini dan terhadap seksualitas manusia itu sendiri, yang dari kodratnya diarahkan kepada kebahagiaan suami isteri serta kepada melahirkan keturunan dan pendidikan anak-anak. Selain itu ia juga merupakan skandal berat, karena dengan demikian moral anak-anak muda dirusakkan."
Beberapa anak muda saat ini sudah tinggal bersama (di apartemen/kos) bersama dengan pacarnya. Alasan yang paling sering dilontarkan adalah sudah 'berkomitmen' untuk menikah, salah satu pasangan adalah perantau dan tinggal di satu tempat. Keterangan KGK di atas seharusnya menjadi peringatan bagi mereka yang hidup bersama sebelum menikah, karena bagaimana pun kecenderungan untuk melakukan dosa percabulan tetap ada. Percabulan ini tidak terbatas dengan tindakan nyata, sebab seseorang dapat jatuh dalam dosa percabulan dengan pikirannya (Mat 5:28; KGK 2528). Bahkan Paus Yohanes Paulus II semakin melengkapi pernyataan Yesus dengan mengatakan, “Percabulan di hati dilakukan bukan hanya karena laki-laki melihat dengan cara sedemikian kepada seorang perempuan yang bukan istrinya, tetapi karena ia melihat dengan cara sedemikian kepada seorang perempuan…. Meskipun laki- laki itu melihat dengan cara sedemikian kepada perempuan yang adalah istrinya, ia tetap melakukan percabulan di hatinya.” (TOB 43:2).
Johann Christoph Arnold, dalam bukunya berjudul A Plea for Purity menuliskan anjuran-anjuran agar tidak jatuh pada percabulan. “Pelukan yang lama, saling bercumbu, ciuman bibir dan segala yang lain yang dapat mendorong hasrat seksual harus dihindari. Hasrat untuk berdekatan secara fisik antara sepasang kekasih adalah sesuatu yang wajar, namun daripada membangkitkan hasrat seputar keintiman ini, pasangan tersebut harus memfokuskan diri untuk lebih mengenal pasangan secara lebih akrab secara rohani, dan saling membangun kasih kepada Yesus dan Gereja-Nya.”
PORNOGRAFI
KGK 2354 menjelaskan, "Pornografi mengambil persetubuhan yang sebenarnya atau yang dibuat-buat dengan sengaja dan keintiman para pelaku dan menunjukkannya kepada pihak ketiga. Ia menodai kemurnian, karena ia meyimpangkan makna hubungan suami isteri, penyerahan diri yang intim antara suami dan isteri. Ia sangat merusak martabat semua mereka yang ikut berperan (para aktor, pedagang, dan penonton), karena mereka ini menjadi obyek kenikmatan primitif dan sumber keuntungan yang tidak diperbolehkan. Pornografi menenggelamkan semua yang berperan di dalamnya dalam sebuah dunia semu. Ia adalah suatu pelangaran berat. Pemerintah berkewajiban mencegah pengadaan dan penyebarluasan bahan-bahan pornografi."
PROSTITUSI
KGK 2355 mengatakan, "Prostitusi menodai martabat orang yang melakukannya dan orang dengan demikian merendahkan diri sendiri dengan menjadikan diri obyek kenikmatan semata-mata bagi orang lain. Siapa yang melakukannya, berdosa berat terhadap diri sendiri; ia memutuskan hubungan dengan kemurnian yang telah ia janjikan pada waktu Pembaptisan, dan menodai tubuhnya, kenisah Roh Kudus (Bdk. 1 Kor 6:15-20). Prostitusi adalah satu bencana untuk masyarakat. Sebagaiman, biasa ia menyangkut para wanita, tetapi juga para pria, anak-anak, atau orang muda (kedua kelompok terakhir melibatkan dosa tambahan karena penyesatan)"
Sungguh berat bukan untuk hidup murni? Paling tidak kita pernah menyukai seseorang dan menginginkannya dalam hati. Lantas bagaimana jika sudah tidak murni? Gereja menekankan kepada setiap umatnya untuk jangan berputus asa mengejar kemurnian hidup. Tuhan Yesus datang untuk mengampuni dosa-dosa manusia, asalkan kita dengan tulus menyesali segala dosa dan kesalahan kita. Maria Magdalena adalah bukti nyata manusia yang jatuh pada ketidakmurnian dan kini dipulihkan. Kisah pertobatannya harus menjadi panutan kita untuk bertobat dan memperjuangkan kemurnian hidup, bukan hanya bagi hidup kita sendiri, tetapi juga hidup orang lain. PORNOGRAFI
KGK 2354 menjelaskan, "Pornografi mengambil persetubuhan yang sebenarnya atau yang dibuat-buat dengan sengaja dan keintiman para pelaku dan menunjukkannya kepada pihak ketiga. Ia menodai kemurnian, karena ia meyimpangkan makna hubungan suami isteri, penyerahan diri yang intim antara suami dan isteri. Ia sangat merusak martabat semua mereka yang ikut berperan (para aktor, pedagang, dan penonton), karena mereka ini menjadi obyek kenikmatan primitif dan sumber keuntungan yang tidak diperbolehkan. Pornografi menenggelamkan semua yang berperan di dalamnya dalam sebuah dunia semu. Ia adalah suatu pelangaran berat. Pemerintah berkewajiban mencegah pengadaan dan penyebarluasan bahan-bahan pornografi."
PROSTITUSI
KGK 2355 mengatakan, "Prostitusi menodai martabat orang yang melakukannya dan orang dengan demikian merendahkan diri sendiri dengan menjadikan diri obyek kenikmatan semata-mata bagi orang lain. Siapa yang melakukannya, berdosa berat terhadap diri sendiri; ia memutuskan hubungan dengan kemurnian yang telah ia janjikan pada waktu Pembaptisan, dan menodai tubuhnya, kenisah Roh Kudus (Bdk. 1 Kor 6:15-20). Prostitusi adalah satu bencana untuk masyarakat. Sebagaiman, biasa ia menyangkut para wanita, tetapi juga para pria, anak-anak, atau orang muda (kedua kelompok terakhir melibatkan dosa tambahan karena penyesatan)"
Kenali diri sendiri, mohon rahmat Tuhan, dan latih pengendalian diri. tidak ada kata 'mustahil' untuk berubah. Yakinlah ketika kita mengusahakan hidup murni, Tuhan akan menemani dan membantu kita dalam setiap langkah perjuangan kita. Dominus Vobiscum :)
Sumber: katolisitas.org
Comments
Post a Comment